search

Rabu, 05 Mei 2010

REFRAKTOMETRI
I. Tujuan Percobaan
 Untuk meningkatkan kemampuan melakukan prosedur laboratorium yang sederhana dengan baik dan efisien
 Untuk meningkatkan kemampuan mengukur data, melakukan pengamatan dan pengukuran serta membuat perhitungan yang sistematis
 Untuk mengetahui cara kerja alat refraktometer Abbe
 Untuk mengetahui indeks bias dari berbagai macam zat cair
II. Dasar Teori
Pembiasan cahaya adalah peristiwa penyimpangan atau pembelokan cahaya karena
melalui dua medium yang berbeda kerapatan optiknya. Pembiasan cahaya juga dapat didefinisikan sebagai pembelokan cahaya ketika berkas cahaya melewati bidang batas dua medium yang berbeda indeks biasnya. Indeks bias mutlak suatu bahan adalah perbandingan kecepatan cahaya di ruang hampa dengan kecepatan cahaya di bahan tersebut. Indeks bias relatif merupakan perbandingan indeks bias dua medium berbeda. Indeks bias relatif medium kedua terhadap medium pertama adalah perbandingan indeks bias antara medium kedua dengan indeks bias medium pertama. Pembiasan cahaya menyebabkan kedalaman semu dan pemantulan sempurna.Arah pembiasan cahaya dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a. Mendekati garis normal
Cahaya dibiaskan mendekati garis normal jika cahaya merambat dari medium optik kurang rapat ke medium optik lebih rapat, contohnya cahaya merambat dari udara ke dalam air.
b. Menjauhi garis normal
Cahaya dibiaskan menjauhi garis normal jika cahaya merambat dari medium optik lebih rapat ke medium optik kurang rapat, contohnya cahaya merambat dari dalam air ke udara.
Syarat-syarat terjadinya pembiasan :
1) cahaya melalui dua medium yang berbeda kerapatan optiknya;
2) cahaya datang tidak tegaklurus terhadap bidang batas (sudut datang lebih kecil dari 90O)
Beberapa contoh gejala pembiasan yang sering dijumpai dalam kehidupan seharihari
diantaranya :
 dasar kolam terlihat lebih dangkal bila dilihat dari atas.
 kacamata minus (negatif) atau kacamata plus (positif) dapat membuat jelas pandangan bagi penderita rabun jauh atau rabun dekat karena adanya pembiasan.
 terjadinya pelangi setelah turun hujan.

Indeks Bias
Indeks bias pada medium didefinisikan sebagai perbandingan antara cepat rambat cahaya di udara dengan cepat rambat cahaya di medium tersebut. Pembiasan cahaya dapat terjadi dikarenakan perbedaan laju cahaya pada kedua medium. Laju cahaya pada medium yang rapat lebih kecil dibandingkan dengan laju cahaya pada medium yang kurang rapat. Menurut Christian Huygens (1629-1695) : “Perbandingan laju cahaya dalam ruang hampa dengan laju cahaya dalam suatu zat dinamakan indeks bias.”
Secara matematis, indeks bias dapat ditulis: n = c / cm
• n = indeks bias
• c = cepat rambat cahaya di ruang hampa (3x10^8 m/s)
• cm = cepat rambat cahaya di suatu medium
atau:
n = ʎ1/ʎ2 = sin ɑ /sin ʙ
• ʎ1 = panjang gelombang 1
• ʎ2 = panjang gelombang 2
• ɑ = sudut datang
• ʙ = sudut bias
Hukum Snellius
Pada sekitar tahun 1621, ilmuwan Belanda bernama Willebrord Snellius (1591 –1626) melakukan eksperimen untuk mencari hubungan antara sudut datang dengan sudut bias. Hasil eksperimen ini dikenal dengan nama hukum Snellius. Hukum Snellius adalah rumus matematika yang memerikan hubungan antara sudut datang dan sudut bias pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium isotropik berbeda, seperti udara dan gelas, yang berbunyi :
• sinar datang, garis normal, dan sinar bias terletak pada satu bidang datar.
• hasil bagi sinus sudut datang dengan sinus sudut bias merupakan bilangan tetap
dan disebut indeks bias.


Pembiasan cahaya pada antarmuka antara dua medium dengan indeks bias berbeda, dengan n2 > n1. Karena kecepatan cahaya lebih rendah di medium kedua (v2 < v1), sudut bias θ2 lebih kecil dari sudut datang θ1; dengan kata lain, berkas di medium berindeks lebih tinggi lebih dekat ke garis normal
Perumusan matematis hukum Snellius adalah

atau

atau

Lambang θ1,θ2 merujuk pada sudut datang dan sudut bias, v1 dan v2 pada kecepatan cahaya sinar datang dan sinar bias. Lambang n1 merujuk pada indeks bias medium yang dilalui sinar datang, sedangkan n2 adalah indeks bias medium yang dilalui sinar bias. Hukum Snellius dapat digunakan untuk menghitung sudut datang atau sudut bias, dan dalam eksperimen untuk menghitung indeks bias suatu bahan.
Pada tahun 1678, dalam Traité de la Lumiere, Christiaan Huygens menjelaskan hukum Snellius dari penurunan prinsip Huygens tentang sifat cahaya sebagai gelombang. Hukum Snellius dikatakan, berlaku hanya pada medium isotropik atau "teratur" pada kondisi cahaya monokromatik yang hanya mempunyai frekuensi tunggal, sehingga bersifat reversibel. Hukum Snellius dijabarkan kembali dalam rasio sebagai berikut:


Pemantulan Internal Sempurna (Total Internal Reflection)
Pemantulan internal sempurna adalah pemantulan yang terjadi pada bidang batas dua zat bening yang berbeda kerapatan optiknya.
• Cahaya datang yang berasal dari air (medium optik lebih rapat) menuju ke udara
(medium optik kurang rapat) dibiaskan menjauhi garis normal (berkas cahaya J).
• Pada sudut datang tertentu, maka sudut biasnya akan 90° dan dalam hal ini berkas
bias akan berimpit dengan bidang batas (berkas K). Sudut datang dimana hal ini terjadi dinamakan sudut kritis (sudut batas).
Sudut kritis adalah sudut datang yang mempunyai sudut bias 90° atau yang mempunyai cahaya bias berimpit dengan bidang batas.
• Apabila sudut datang yang telah menjadi sudut kritis diperbesar lagi, maka cahaya
biasnya tidak lagi menuju ke udara, tetapi seluruhnya dikembalikan ke dalam air
(dipantulkan)(berkas L). Peristiwa inilah yang dinamakan pemantulan internal sempurna Syarat terjadinya pemantulan internal sempurna :
1) Cahaya datang berasal dari zat yang lebih rapat menuju ke zat yang lebih
renggang.
2) Sudut datang lebih besar dari sudut kritis.
Beberapa peristiwa pemantulan sempurna dapat kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, diantaranya :
a. Terjadinya fatamorgana
b. Intan dan berlian tampak berkilauan
c. Teropong prisma
d. Periskop prisma
e. Serat optik, digunakan pada alat telekomunikasi atau bidang kedokteran. Serat ini
digunakan untuk mentransmisikan percakapan telefon, sinyal video, dan data
komputer.
Refraktometer
Refraktometri adalah suatu analisis yang berdasarkan pada penentuan indeks bias suatu zat dengan alat yang disebut refraktometer. Refraktometer Abbe adalah sebuah alat yang ditemukan oleh orang Jerman yang bernama Zeiss Abbe, yang digunakan untuk mengukur indeks biasa suatu zat cair, zat padat yang transparan, film dan serbuk. Ernst Abbe (1840 - 1905), bekerja untuk Perusahaan Zeiss di Jena, Jerman pada 1800-an, adalah orang pertama yang mengembangkan refraktometer laboratorium. Instrumen pertama dengan termometer dan diperlukan sirkulasi air untuk mengontrol instrumen dan suhu fluida. Mereka juga memiliki penyesuaian untuk menghilangkan efek dari dispersi dan skala analog dari mana pembacaan diambil.
Prinsip kerja alat ini adalah didasarkan pada pengukuran sudut kritis yaitu sudut terkecil dari luas bidang dengan garis normal (θ2) dalam medium yang indeks biasnya terbesar, dimana sinar dipantulkan seluruhnya. Alat refraktometer ini dilengkapi dengan bak thermostat yang berfungsi untuk menjaga dan mengatur suhu saat pengukuran indeks bias.






Gambar Refraktometer Abbe




Gambar jenis – jenis pembiasan cahaya.

III. Alat dan Bahan
Alat – Alat
 Refraktometer Abbe
 Bak Thermostat
 Pipet Tetes
Bahan – Bahan
 Glukosa 2,5%
 Glukosa 5%
 Campuran Glukosa + Sukrosa 10%
 Minyak goreng Bimoli
 Minyak goreng C
 Aquadest
 Etanol
 Tissue

IV. CARA KERJA
Pengoperasian dari refraktometer Abbe :
Air dari bak thermostat diuji bahwa sedang disirkulasi melalui prisma dan temperature konstan ( 25 0 ±10 ) C. Prisma yang iluminasi dan refraksi digantung bersama – sama sepanjang 1 sisi dan di klep pada sisi yang berlawanan. Klem di buka dan prisma di pisahkan. Kedua permukaan prisma dibersihkan dengan hati – hati menggunakan tisu yang telah diisi etanol. Bila permukaan prisma sudah bersih dan kering, kedua permukaan prisma dibawa bersama – sama dan klem ditutup. Yakinkan bahwa permukaan prisma bebas dari debu atau pasir ( yang dapat menyebabkan kerusakan bila prisma diklem bersama – sama. Satu sampai dua tetes sampel diteteskan pada lubang isian dengan pipet tetes ( yang seharusnya sudah terang sepanjang persimpangan diantara dua prisma yang di klem ). Prisma yang terpasang sepanjang sumbu horizontal dapat diputar dengan knop logam knurled ( dibawah skala ) dengan tetap menjaga posisi dari cermin teleskop. Prisma diputar sampai batas antar medan terang dan medan gelap terlihat jelas pada teleskop ( jika pengaturan konpensator Abbe tidak tepat maka akan terlihat seberkas sinar berwarna yang tersebar pada perbatasan medan gelap dengan terang). Cermin diatur untuk dapat memantulkan sinar sepanjang sumbu teleskop. Posisi terbaik dapat diperoleh dengan mencoba bila zat cair sudah diberikan , dan suatu saat tidak perlu diadakan perubahan setelan itu untuk mendapatkan sumber cahaya yang mantap. Pada ujung bawah dari teleskop, terdapat kpom logam knurned yang berfungsi mengatur kompensator Abbe. Pengatur dianggap benar jika terlihat batas yang tajam antar medan gelap dan medan terang. Prisma diputar hingga batas gelap dan terang tepat berhimpitan dengan titik potong dari garis silang ( lensa mata pada teleskop dapat diatur dengan memutarnya untuk membuat garis silang berada pada focus yang tajam ). Setelah batas gelap dan terang tepat berhimpitan dengan titik potong dari garis silang, indeks bias dari sampel tersebut dibaca dari skala ( diberi tanda no ), suatu saat pengaturan yang selanjutnya telah dibuat. Lensa mata dari pembacaan skala teleskop dapat diatur untuk membuat skala menjadi focus yang tajam. Untuk menyelesaikan pengukuran, permukaan prisma dibersihkan dan dikeringkan kemudian prisma diklem menjadi satu. Penutup protektif peralatan dilepaskan. Prisma, teleskop dan cermin yang jelas dapat diputar sebagai unit tunggal sepanjang sumbu horizontal. Dengan cara ini memungkinkan untuk membuat permukaan prisma yang jelas menjadi posisi horisontal. Sehingga sebagai alternative sampai pada langkah tiga, setetes zat cair dapat ditransfer secara langsung ke permukaan prisma. Prosedur ini diperlukan untuk pengukuran indeks bias zat cair yang kental.
V. DATA PENGAMATAN

NO SAMPEL PERCOBAAN SUHU (0C) INDEKS BIAS
1. Aquadest I 30 1,3320
2. Glukosa 2,5% I 30 1,3350
II 30 1,3350
III 30 1,3345
3. Glukosa 5% I 30 1,3380
II 30 1,3380
III 30 1,3380
4. Glukosa + Sukrosa 10% I 30 1,3445
II 30 1,3450
III 30 1,3450
5. Minyak Goreng Bimoli I 30 1,4620
II 30 1,4620
III 30 1,4625
6. Minyak goreng C I 30 1,4625
II 30 1,4625
II 30 1,4620









VI. PERHITUNGAN
1. Aquades
Menentukan tingkat ketelitian pengukuran :











1,3320 1,3320 0 0
1,3320 1,3320 0 0
1,3320 1,3320 0 0




= 0


Jadi nD Aquadest pada suhu 300C adalah 1,3320 ± 0



= 0%
Kebenaran Praktikum = 100 % - 0%
= 100%

2. Glukosa 2,5 %
Menentukan tingkt ketelitian pengukuran :










1,3350 1,3348 0,0002 4. 10-8
1,3350 1,3348 0,0002 4. 10-8
1,3345 1,3348 - 0,0003 9. 10-8
17. 10-8


= 2,92. 10-4


Jadi nD Glukosa 2,5% pada suhu 300C adalah 1,3348 ± 2,92.10-4



= 0,02%
Kebenaran Praktikum = 100 % - 0,02%
= 99,98%

3. Glukosa 5 %
Menentukan tingkat ketelitian pengukuran :











1,3380 1,3380 0 0
1,3380 1,3380 0 0
1,3380 1,3380 0 0




= 0


Jadi nD Glukosa 5% pada suhu 300C adalah 1,3380 ± 0



= 0%
Kebenaran Praktikum = 100 % - 0%
= 100%

4. Glukosa + sukrosa 10%
Menentukan tingkat ketelitian pengukuran :










1,3445 1,3448 -0,0003 9.10-8
1,3450 1,3448 0,0002 4.10-8
1,3450 1,3448 0,0002 4.10-8




= 2,92. 10-4


Jadi nD Glukosa + Sukrosa 10% pada suhu 300C adalah 1,3448 ± 2,92.10-4



= 0,02%
Kebenaran Praktikum = 100 % - 0,02%
= 99,98%

5. Minyak Goreng Bimoli
Menentukan tingkat ketelitian pengukuran :














1,4620 1,4622 -0,0002 4.10-8
1,4620 1,4622 -0,0002 4.10-8
1,4625 1,4622 0,0003 9.10-8




= 2,92. 10-4


Jadi nD minyak bimoli pada suhu 300C adalah 1,4622 ± 2,92.10-4



= 0,02%
Kebenaran Praktikum = 100 % - 0,02%
= 99,98%


6. Minyak Goreng C
Menentukan tingkat ketelitian pengukuran :













1,4625 1,4623 0,0002 4.10-8
1,4625 1,4623 0,0002 4.10-8
1,4620 1,4623 -0,0003 9.10-8




= 2,92. 10-4


Jadi nD minyak goreng C pada suhu 300C adalah 1,4623 ± 2,92.10-4



= 0,02%
Kebenaran Praktikum = 100 % - 0,02%
= 99,98%














VII. PEMBAHASAN
Pada percobaan pengukuran dilaboratorium ini dilakukan pengukuran indeks bias dari beberapa zat cair dengan menggunakan alat refraktometer Abbe. Prinsip kerja alat ini adalah didasarkan pada pengukuran sudut kritis yaitu sudut terkecil dari luas bidang dengan garis normal dalam medium yang indeks biasnya terbesar, dimana sinar dipantulkan seluruhnya. Pada percobaan ini zat cair yang akan diukur indeks biasnya adalah Glukosa 2.5%, Glukosa 5%, campuran Glukosa + Sukrosa 10%, minyak goreng Bimoli dan minyak goreng C. Untuk masing – masing zat akan dilakukan tiga kali pengulangan untuk memperkecil tingkat kesalahan sehingga bisa mendekati ketepatan.
Sebelum refraktometer dipakai, prisma pada refraktometer dibersihkan terlebih dahulu dengan tissue yang diberi etanol agar permukaan prisma bebas dari debu atau pasir yang dapat menyebabkan kerusakan pada prisma. Untuk mengecek alat masih dalam keadaan baik dan layak pakai dilakukan kalibrasi alat dengan menggunakan Aquadest. Hasil pengukuran indeks bias terhadap aquadest adalah 1,3320. Berdasarkan literature diketahui bahwa indeks bias aquades pada suhu 30 0C adalah 1,3320. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketepatan dari alat refraktometer ini masih baik.
Setelah dilakukan percobaab diperoleh data sebagai berikut :
1. Indeks bias rata - rata untuk Glukosa 2,5 % adalah 1,3348
2. Indeks bias rata – rata untuk Glukosa 5 % adalah 1,3380
3. Indeks bias rata – rata untuk campuran Glukosa + Sukrosa 10 % adalah 1,3348
4. Indeks bias rata – rata untuk minyak goreng Bimoli adalah 1,4622
5. Indeks bias rata – rata untuk minyak goreng C adalah 1,4623
Dari data diatas dapat dilihat bahwa indeks bias semua cairan diatas lebih besar dari indeks bias cairan yaitu 1,3320. Indeks bias tertinggi dihasilkan oleh minyak goreng C. Tiap cairan memiliki indeks bias yang berbeda, walaupun jenis cairannya sama dapat pula terjadi perbedaan indeks bias seperti pada glukosa yang memiliki konsentrasi yang berbeda. Perbedaan hasil indeks bias yang pada berbagai macam zat cair dapat disebabkan karena sudut kritis yang dibentuk oleh zat – zat tersebut lebih besar dari sudut kritis yaitu sudut yang dibentuk oleh sinar datang dan sinar bias, yang dibentuk oleh aquadest, dimana semakin besar sudut kritis yang dibentuk maka semakin banyak sinar datang yang dipantulkan oleh cairan tersebut. Selain itu, perbedaan indeks bias pada zat cair tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan kerapatan, dimana semakin besar kerapatannya maka volumenya akan semakin kecil, sehingga indeks biasnya akan semakin kecil pula. Dapat pula disebabkan oleh perbandingan perbedaan kecepatan cahaya pada masing – masing cairan dengan kecepatan cahaya di dalam hampa udara. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa indeks bias pada cairan yang dipakai melebihi satu, hal ini menunjukkan bahwa kecepatan cahaya dari cairan di medium lebih kecil daripada kecepatan cahaya di ruang hampa.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa minyak goreng C yang memiliki indeks bias terbesar, menghasilkan sudut kritis yang paling besar diikuti oleh minyak goreng Bimoli, glukosa 5% dan glukosa 2,5 % dan campuran glukosa dan sukrosa memiliki nilai yang sama.

VIII. KESIMPULAN
1. Refraktometer Abbe adalah alat yang digunakan untuk mengukur indeks bias cairan
2. Indeks bias aquadest adalah 1,3320
3. Indeks bias rata - rata untuk Glukosa 2,5 % adalah 1,3348
4. Indeks bias rata – rata untuk Glukosa 5 % adalah 1,3380
5. Indeks bias rata – rata untuk campuran Glukosa + Sukrosa 10 % adalah 1,3348
6. Indeks bias rata – rata untuk minyak goreng Bimoli adalah 1,4622
7. Indeks bias rata – rata untuk minyak goreng C adalah 1,4623
8. Minyak goreng C memiliki indeks bias terbesar
9. Indeks bias dipengaruhi oleh kerapatan, sudut kritis dan kecepatan cahaya

XI. DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/Abbe_refractometer
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Snellius
http://smpn9depok.files.wordpress.com/2008/10/pembiasan-cahaya.pdf
http://swastikayana.wordpress.com/2009/04/08/pembiasan-cahaya/
Tim Laboratorium Kimia Fisika. 2009. Penuntun Praktikum Kimia Fisika II. Jurusan Kimia F.MIPA Universitas Udayana : Bukit Jimbaran
TEGANGAN PERMUKAAN

I. TUJUAN PERCOBAAN
 Menentukan tegangan muka cairan secara relatif dengan air sebagai zat pembanding
 Menentukan tegangan muka cairan dengan metode tetes
 Memahami konsep kepolaran cairan yang berpengaruh pada tegangan muka cairan
 Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tegangan permukaan suatu cairan.

II. DASAR TEORI
Air memiliki tegangan permukaan yang besar yang disebabkan oleh kuatnya sifat kohesi antar molekul-molekul air. Hal ini dapat diamati saat sejumlah kecil air ditempatkan dalam sebuah permukaan yang tak dapat terbasahi atau terlarutkan (non-soluble); air tersebut akan berkumpul sebagai sebuah tetesan. Di atas sebuah permukaan gelas yang amat bersih atau bepermukaan amat halus air dapat membentuk suatu lapisan tipis (thin film) karena gaya tarik molekular antara gelas dan molekul air (gaya adhesi) lebih kuat ketimbang gaya kohesi antar molekul air. Air menempel pada sesamanya (kohesi) karena air bersifat polar. Air memiliki sejumlah muatan parsial negatif (σ-) dekat atom oksigen akibat pasangan elektron yang (hampir) tidak digunakan bersama, dan sejumlah muatan parsial positif (σ+) dekat atom oksigen. Dalam air hal ini terjadi karena atom oksigen bersifat lebih elektronegatif dibandingkan atom hidrogen—yang berarti, ia (atom oksigen) memiliki lebih "kekuatan tarik" pada elektron-elektron yang dimiliki bersama dalam molekul, menarik elektron-elektron lebih dekat ke arahnya (juga berarti menarik muatan negatif elektron-elektron tersebut) dan membuat daerah di sekitar atom oksigen bermuatan lebih negatif ketimbang daerah-daerah di sekitar kedua atom hidrogen. Air memiliki pula sifat adhesi yang tinggi disebabkan oleh sifat alami ke-polar-annya.
Tegangan permukaan adalah gaya yang diakibatkan oleh suatu benda yang bekerja pada permukaan zat cair sepanjang permukaan yang menyentuh benda itu. Apabila F = gaya (newton) dan L = panjang (m), maka tegangan-permukaan, S dapat ditulis sebagai S = F/L. Tegangan permukaan cairan (γ) adalah kerja yang dilakukan untuk memperluas permukaan cairan dalam satuan luas. Molekul-molekul dalam suatu cairan ditarik kesegala arah oleh gaya antar molekul; tidak ada kecenderungan untuk ditarik kearah tertentu. Tetapi molekul-molekul pada permukaan ditarik ke bawah dan ke samping oleh molekul-molekul lainnya, tapi tidak keatas keluar permukaan . jadi, tarik-menarik antar molekul ini cenderung menarik molekul-molekul kedalam cairan dan menimbulkan sifat kecenderungan untuk memperkecil luas permukaan, sehingga menyebabkan permukaan meregang seperti lapisan tipis elastic
Berikut ini beberapa nilai Tegangan Permukaan yang diperoleh berdasarkan percobaan.
Zat cair yang bersentuhan dengan udara Suhu (oC) Tegangan Permukaan (mN/m = dyn/cm)
Air 0 75,60
Air 20 72,80
Air 25 72,20
Air 60 66,20
Air 80 62,60
Air 100 58,90
Air sabun 20 25,00
Minyak Zaitun 20 32,00
Air Raksa 20 465,00
Oksigen -193 15,70
Neon -247 5,15
Helium -269 0,12
Aseton 20 23,70
Etanol 20 22,30
Gliserin 20 63,10
Benzena 20 28,90











Berdasarkan data Tegangan Permukaan, tampak bahwa suhu mempengaruhi nilai tegangan permukaan fluida. Umumnya ketika terjadi kenaikan suhu, nilai tegangan permukaan mengalami penurunan Hal ini disebabkan karena ketika suhu meningkat, molekul cairan bergerak semakin cepat sehingga pengaruh interaksi antar molekul cairan berkurang. Akibatnya nilai tegangan permukaan juga mengalami penurunan.
Tegangan permukaan cairan dapat diukur dengan cara:

1. Metode tetes atau drop out

2. Metode tekanan maksimum gelembung atau buble pressure

3. Metode cincin atau tensiometer

4. Metode kenaikan kapiler atau capilary rise

1. Metode Drop Out (Tetes)
Bila cairan tepat akan menetes, maka gaya tegangan permukaan sama dengan gaya yang disebabkan oleh massa cairan sebagai gaya berat itu sendiri
Gaya berat cairan = m.g
Gaya tegangan muka =
Maka :
Dalam percobaan ini cairan juga akan ditentukan dengan membandingkan cairan yang telah diketahuinya. Diambil volume tertentu yang sama dan dihitung jumlah tetesan yang terjadi. Missal volume = V; berat jenis = d; massa = m;tetesan zat cair; jumlah tetes dalam volume V = n, maka :
Sehingga persamaannya menjadi :


2. Metode Kenaikan Kapiler (capilary rise)
Bila suatu kapiler dimasukkankedalam cairan yang membasahi dinding, maka cairan akan naik kedalam kapiler sampai pada tinggi tertentu dimana gaya kebawah sama dengan gaya keatas dikarenakan adanya tegangan muka.
Percobaan ini dilakukan dengan membandingkan cairan yang akan ditentukan tegangan mukanya, dengan cairan yang telah diketahui tegangan mukanya, misalnya air. Dengan menggunakan persamaan
karena dan , maka

Maka diperoleh persamaan untuk menentukan tegangan permukaan cairan, yaitu :
Ket : h = tinggi permukaan d = berat jenis
g = percepatan gravitasi r = jari - jari kapiler
γ = tegangan permukaan








III. ALAT DAN BAHAN
Alat - alat
 Alat untuk metode kenaikan kapiler
 Alat untuk metode tetes
 Bola hisap
 Beaker glass
 Erlenmeyer
 Buret
 Statif
Bahan - bahan
 Aseton
 Zat X
 Air Murni

IV. CARA KERJA
1) Tabung A diisi sampai lebih tinggi sedikit dari tanda tertentu
2) Pada tabung B diisap dengan pompa sehingga ada tetes air melewati kapiler, dibiarkan menetes sampai tanda tertentu
3) Dihitung banyaknya tetes mulai dari tanda sampai tanda dibawahnya lagi
4) Percobaan ini diulangi 3 kali untuk setiap cairan yang akan diselidiki


V. DATA PENGAMATAN
1. Aquades
Percobaaan Volume Jumlah tetes
I
II
III 2 - 5 ml
2 - 5 ml
2 - 5 ml 30
30
30

2. Aseton
Percobaaan Volume Jumlah tetes
I
II
III 2 - 5 ml
2 - 5 ml
2 - 5 ml 70
70
70

2. Zat X (CCl4)
Percobaaan Volume Jumlah tetes
I
II
III 2 - 5 ml
2 - 5 ml
2 - 5 ml 120
120
120









VI. PERHITUNGAN
Dengan membandingkan tegangan permukaan air dengan tegangan permukaan cairan maka ;


Dengan diketahui bahwa pada suhu 20 ° C, maka
 Untuk aseton
Dik : dx = n air = 30 tetes
da = n aseton = 70 tetes
Dit : = .........?
Jawab :







Dengan cara yang sama di peroleh data sebagai berikut :
Percobaan



1
2
3 24,648
24,648
24,648 24,648 0
0
0 0
0
0
γx = 73,944
= 0


Standar deviasi =
Simpangan baku =
Kesalahan praktikum =
Kebenaran praktikum = 100% - 0% =100%

 Untuk Zat X ( CCl4)
Dik : dx = n air = 30 tetes
da = n CCl4 = 120 tetes
Dit : = .........?
Jawab :







Dengan cara yang sama di peroleh data sebagai berikut :

Percobaan



1
2
3 28,756
28,756
28,756 28,756 0
0
0 0
0
0
γx = 86,268
= 0


Standar deviasi =
Simpangan baku =
Kesalahan praktikum =
Kebenaran praktikum = 100% - 0% =100%











VII. PEMBAHASAN
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan nilai tegangan muka pada aseton dan zat X (CCl4) dengan menggunakan metode tetes dengan air sebagai zat pembanding. Sejumlah volume tertentu dari zat tersebut diambil kemudian dengan skala volume tetap (2 – 4 ml) dihitung jumlah tetesan yang terjadi. Dari jumlah tetesan cairan tersebut dapat ditentukan tegangan permukaan dari cairan tersebut dengan membandingkan dengan tegangan permukaan air.
Besarnya tegangan permukaan suatu cairan dipengaruhi oleh banyak factor, salah satunya adalah kepolaran dari cairan tersebut. Setiap zat cair memiliki kepolaran yang berbeda tergantung ada tidaknya momen dipole pada zat tersebut. Dimana semakin besar perbedaan momen dipole antar unsure-unsur penyusun suatu senyawa, maka senyawa tersebut akan semakin bersifat polar. Dengan semakin polarnya suatu senyawa maka nilai tegangan permukaannya pun semakin besar, karena kekuatan gaya tarik-menarik antara dipol-dipol pada senyawa yang lebih polar lebih kuat dari gaya tarik-menarik pada senyawa yang kurang polar ataupun non polar, sehingga tegangan permukaan yang terbentuk pada senyawa polar akan semakin besar.
Satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Tarikan atom oksigen pada elektron-elektron ikatan jauh lebih kuat dari pada yang dilakukan oleh atom hidrogen, meninggalkan jumlah muatan positif pada kedua atom hidrogen, dan jumlah muatan negatif pada atom oksigen. Adanya muatan pada tiap-tiap atom tersebut membuat molekul air memiliki sejumlah momen dipol. Gaya tarik-menarik listrik antar molekul-molekul air akibat adanya dipol ini membuat masing-masing molekul saling berdekatan, membuatnya sulit untuk dipisahkan dan yang pada akhirnya menaikkan titik didih air. Gaya tarik-menarik ini disebut sebagai ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen membuat air bersifat polar. Bentuk molekul CCl4, yang mempunyai bentuk molekul tetrahedaral dengan atom C sebagai pusat dan atom-atom Cl pada sudut-sudutnya. Sekalipun ikatan C – Cl bersifat polar, karena struktur molekul tersebut simetris maka momen dipol yang terjadi saling meniadakan dan bersifat non-polar. Sedangkan aseton bersifat polar, tetapi tingkat kepolarannya lebih rendah daripada air.
Selain itu nilai tegangan permukaan juga dipengaruhi oleh jumlah tetesan dan suhu percobaan. Percobaan ini dilakukan pada suhu dan tekanan yang sama, sehingga suhu mempengaruhi pada hasil percobaan. Tegangan permukaan semua zat cair turun bila suhu naik dan menjadi nol pada suhu atau temperature kritis. Pengaruh jumlah tetesan pada tegangan permukaan cairan adalah semakin banyak tetesan yang jatuh makan tegangan permukaannya semakin kecil. Sedangkan jika dilihat dari bentuk tetesanya maka akan berbanding lurus dengan tegangan permukaan, yaitu semakin besar bentuk tetesan maka makin besar pula nilai tegangan permukaannya. Hal ini dikarenakan semakin polar suatu larutan atau senyawa (air) maka semakin kuat gaya tarik menarik antar molekul dengan fase uapnya yang menyebabkan tetesan yang terjadi lambat. Begitu pula sebaliknya jika semakin nonpolar suatu larutan atau senyawa (CCl4) maka semakin lemah gaya tarik menarik antar molekul dengan fase uapnya sehingga tetesannya cepat.
Dari hasil perhitungan dan percobaan yang telah dilakukan, didapatkan bahwa γ untuk CCl4 adalah 28,756 dyne/cm dengan kebenaran praktikum 100% dan γ untuk aseton adalah 24,648 dyne/cm juga dengan kebenaran praktikum 100% dan γ air adalah 72,8 dyne/cm. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa air memiliki jumlah tetesan paling sedikit dengan bentuk tetesan yang besar sehingga tegangan permukaan dari air dan dapat disimpulkan air bersifat paling polar diantara zat yang diujikan. bersifat paling polar dan. hal ini sudah sesuai dengan tori yang ada. Namun nilai γ untuk CCl4 yang bersifat non polar dengan jumlah tetesan paling banyak dan bentuk tetesannya paling kecil, memiliki nilai γ yang lebih besar daripada aseton yang lebih bersifat polar. Hal ini tidak sesuai dengan literature yang ada, dimana seharusnya nilai γ air > γ aseton > γ CCl4. Perbedaan hasil yang diperoleh berbeda dengan literatur, hal ini dapat disebabkan karena kurang telitinya praktikan pada saat menghitung jumlah tetesan dan suhu dalam ruangan yang tidak stabil. Massa piknometer dan massa cairan + piknometer tak diukur dalam percobaan ini. Sehingga nilai berat jenis masing-masing cairan diperoleh dari literature yang ada

VIII KESIMPULAN
1. Tegangan permukaan cairan dapat ditentukan dengan metode tetes
2. Tegangan permukaan suatu cairan dipengaruhi oleh kepolaran, suhu, jumlah tetesan, dan bentuk tetesannya
3. Semakin polar dan semakin besar perbedaan momen dipole antara unsur-unsur penyusun senyawa tersebut maka makin besar pula tegangan permukaannya.
4. Semakin rendah suhu pada saat melakukan percobaan, semakin kecil tegangan permukaan cairan
5. Semakin banyak jumlah tetesan suatu cairan, tegangan permukaanya semakin kecil
6. Semakin polar suatu cairan, semakin kuat gaya tarik menarik antar molekul dan fase uapnya sehinga makin lambat tetesannya
7. Semakin nonpolar suatu cairan, semakin lemah gaya tarik menarik antar molekul dengan fase uapnya sehingga semakin cepat tetesannya.
8. Tegangan permukaan air adalah 72,8 dyne/cm
9. Tegangan permukaan CCl4 adalah 28,756 dyne/cm
10. Tegangan permukaan aseton adalah 24,648 dyne/cm
11. Berdasarkan tingkat kepolarannya air > aseton > CCl4
12.
IX. DAFTAR PUSTAKA
http://community.um.ac.id/archive/index.php/t-72458.html
DIAGRAM TERNER
I. TUJUAN PERCOBAAN
 Membuat kurva kelarutan suatu cairan yang terdapat dalam campuran dua cairan tertentu

II. DASAR TEORI
Fasa adalah bagian sistem dengan komposisi kimia dan sifat – sifat fisik seragam, yang terpisah dari bagian sistem lain oleh suatu bidang batas. Pemahaman perilaku fasa mulai berkembang dengan adanya aturan fasa Gibbs. Untuk sistem satu komponen, persamaan Clausius dan Clausisus – Clapeyron menghubungkan perubahan tekanan kesetimbangan dengan perubahan suhu. Diagram fasa merupakan cara mudah untuk menampilkan wujud zat sebagai fungsi suhu dan tekanan. Sebagai contoh khas, diagram fasa air. Dalam diagram fasa, diasumsikan bahwa zat tersebut diisolasi dengan baik dan tidak ada zat lain yang masuk atau keluar sistem. Sedangkan pada sistem dua komponen, larutan ideal mengikuti hukum Raoult. Larutan non elektrolit nyata (real) akan mengikuti hukum Henry.
Sistem Satu Komponen
Aturan Fasa Gibbs
Pada tahun 1876, Gibbs menurunkan hubungan sederhana antara jumlah fasa setimbang, jumlah komponen, dan jumlah besaran intensif bebas yang dapat melukiskan keadaan sistem secara lengkap. Menurut Gibbs,
.......................................... (3.1)
dimana υ = derajat kebebasan
c = jumlah komponen
p = jumlah fasa
γ = jumlah besaran intensif yang mempengaruhi sistem (P, T)
Derajat kebebasan suatu sistem adalah bilangan terkecil yang menunjukkan jumlah variabel bebas (suhu, tekanan, konsentrasi komponen – komponen) yang harus diketahui untuk menggambarkan keadaan sistem. Untuk zat murni, diperlukan hanya dua variabel untuk menyatakan keadaan, yaitu P dan T, atau P dan V, atau T dan V. Variabel ketiga dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan gas ideal. Sehingga, sistem yang terdiri dari satu gas atau cairan ideal mempunyai derajat kebebasan dua (υ = 2).
Bila suatu zat berada dalam kesetimbangan, jumlah komponen yang diperlukan untuk menggambarkan sistem akan berkurang satu karena dapat dihitung dari konstanta kesetimbangan. Misalnya pada reaksi penguraian H2O.
H2O(g)  H2(g) + ½ O2(g)
............................................. (3.2)
Dengan menggunakan perbandingan pada persamaan 3.2, salah satu konsentrasi zat akan dapat ditentukan bila nilai konstanta kesetimbangan dan konsentrasi kedua zat lainnya diketahui.
Kondisi fasa – fasa dalam sistem satu komponen digambarkan dalam diagram fasa yang merupakan plot kurva tekanan terhadap suhu.

Gambar 3.1. Diagram fasa air pada tekanan rendah
Titik A pada kurva menunjukkan adanya kesetimbangan antara fasa – fasa padat, cair dan gas. Titik ini disebut sebagai titik tripel. Untuk menyatakan keadaan titik tripel hanya dibutuhkan satu variabel saja yaitu suhu atau tekanan. Sehingga derajat kebebasan untuk titik tripel adalah nol. Sistem demikian disebut sebagai sistem invarian.
Keberadaan Fasa – Fasa dalam Sistem Satu Komponen
Perubahan fasa dari padat ke cair dan selanjutnya menjadi gas (pada tekanan tetap) dapat dipahami dengan melihat kurva energi bebas Gibbs terhadap suhu atau potensial kimia terhadap suhu.

Gambar 3.2. Kebergantungan energi Gibbs pada fasa – fasa padat, cair dan gas terhadap
suhu pada tekanan tetap

Lereng garis energi Gibbs ketiga fasa pada gambar 3.2. mengikuti persamaan
............................................ (3.3)
Nilai entropi (S) adalah positif. Tanda negatif muncul karena arah lereng yang turun. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Sg > Sl > Ss.
Sistem Dua Komponen
Kesetimbangan Uap – Cair dari Campuran Ideal Dua Komponen
Jika campuran dua cairan nyata (real) berada dalam kesetimbangan dengan uapnya pada suhu tetap, potensial kimia dari masing – masing komponen adalah sama dalam fasa gas dan cairnya.
............................................. (3.4)
Jika uap dianggap sebagai gas ideal, maka
..................................... (3.5)
dimana Po adalah tekanan standar (1 bar). Untuk fasa cair,
......................................... (3.6)
Persamaan 3.20 dapat ditulis menjadi
.................................. (3.7)
Dari persamaan 3.23 dapat disimpulkan bahwa
........................................... (3.8)
.................................................. (3.9)
Persamaan 3.25 menyatakan bahwa bila uap merupakan gas ideal, maka aktifitas dari komponen i pada larutan adalah perbandingan tekanan parsial zat i di atas larutan (Pi ) dan tekanan uap murni dari zat i (Pio).
Pada tahun 1884, Raoult mengemukakan hubungan sederhana yang dapat digunakan untuk memperkirakan tekanan parsial zat i di atas larutan (Pi ) dari suatu komponen dalam larutan. Menurut Raoult,
................................................ (3.10)
Pernyataan ini disebut sebagai Hukum Raoult, yang akan dipenuhi bila komponen – komponen dalam larutan mempunyai sifat yang mirip atau antaraksi antar larutan besarnya sama dengan interaksi di dalam larutan (A – B = A – A = B – B). Campuran yang demikian disebut sebagai campuran ideal.
Sistem Tiga Komponen


Gambar 3.14. Diagram fasa sistem tiga komponen air – asam asetat – vinil asetat
Berdasarkan hukum fasa Gibbs, jumlah terkecil variabel bebas yang diperlukan untuk menyatakan keadaan suatu sistem dengan tepat pada kesetimbangan diungkapkan sebagai :
F = C – P + 2
dimana,
F = jumlah derajat kebebasan
C = jumlah komponen
P = jumlah fasa
Dalam ungkapan diatas, kesetimbangan dipengaruhi oleh suhu, tekaanan dan komposisi sistem. Jumlah derajat kebebasan untuk sistem tiga komponen pada suhu dan tekanan tetap dapat dinyatakan sebagai :
F = 3 – P
Jika dalam sistem hanya terdapat satu fasa, maka F = 2, berarti untuk menyatakan keadaan sistem dengan tepat perlu ditentukan konsentrasi dari dua komponennya. Sedangkan bila dalam sistem terdapat dua fasa dalam kesetimbangan,




III. ALAT DAN BAHAN
Alat – alat
1. Labu bertutup 100 mL sebanyak 5 buah
2. Labu Erlenmeyer 250 mL sebanyak 5 buah
3. Buret 10 mL sebanyak 2 buah
4. Pipet volume 10 mL
5. Gelas ukur 10 mL
6. Gelas Beaker 100 mL sebanyak 3 buah
7. Termometer 10 – 1000C sebanyak 1 buah
Bahan – bahan
1. Aquadest
2. CCl4
3. Asam Asetat Glasial

IV. CARA KERJA
1. Ke dalam labu Erlenmeyer yang bersih dan kering serta bertutup, dibuat 5 macam campuran cairan A dan C yang saling melarut dengan komposisi sebagai berikut:
Labu 1 2 3 4 5
mL A 1 3 5 7 9
mL C 9 7 5 3 1
Semua pengukuran volume dilakukan dengan buret. Untuk tiap labu, ditimbang lebih dahulu labu kosong dan tutupnya. Kemudian ditambahkan cairan A (CCl4) dan ditimbang lagi massanya, kemudian ditambahkan cairan C (Asam Asetat Glasial) dan ditimbang sekali lagi. Dengan demikian massa cairan A dan C diketahui untuk setiap labu.
2. Tiap campuran dititrasi dalam labu 1 sampai 5 dengan cairan B (Aquades) sampai tepat timbul kekeruhan dan dicatat jumlah volume cairan B yang digunakan. Titrasi dilakukan dengan perlahan-lahan. Setelah titrasi untuk masing-masing labu selesai, sekali lagi ditimbang untuk menentukan massa cairan B dalam setiap labu.
3. Tahap 1 dan 2 diulangi lagi dengan penggunaan cairan B (aquades) dan cairan C (asam asetat glacial) dengan penambahan cairan A (CCl4) sebagai titran di buret ketika titrasi percobaan 2.
Labu 1 2 3 4 5
mL B 1 3 5 7 9
mL C 9 7 5 3 1
4. Suhu kamar sebelum dan sesudah percobaan harus dicatat.

V. DATA PENGAMATAN
Percobaan I
Dik: Cairan A = CCl4
Cairan B = Aquades
Cairan C = Asam Asetat Glasial
T0= 320C, T1=320C
Perbandingan A:C
Labu 1 = A:C = 1:9
Labu 2 = A:C = 3:7
Labu 3 = A:C = 5:5
Labu 4 = A:C = 7:3
Labu 5 = A:C = 9:1
No. Massa Labu+Tutup (g) Massa Labu+Zat A (g) Massa Labu + Zat A + Zat C (g) Vol.Titran (zat B) (ml) Massa setelah titrasi (g)
1. 161,30 163,34 172,62 1,95 174,55
2. 124,37 129,09 136,50 0,55 137,07
3. 131,71 139,45 144,55 0,25 144,76
4. 117,45 128,23 131,22 0,15 131,37
5. 125,40 139,34 140,16 0,05 140,18

Percobaan II
Dik: Cairan A = CCl4
Cairan B = Aquades
Cairan C = Asam Asetat Glasial
T0= 300C, T1=300C
Perbandingan B:C
Labu 1 = B:C = 1:9
Labu 2 = B:C = 3:7
Labu 3 = B:C = 5:5
Labu 4 = B:C = 7:3
Labu 5 = B:C = 9:1
No. Massa Labu+Tutup (g) Massa Labu+Zat B (g) Massa Labu + Zat B + Zat C (g) Vol.Titran (zat A) (ml) Massa setelah titrasi (g)
1. 161,53 162,32 171,67 2,80 175,97
2. 124,52 127,32 134,58 0,90 135,98
3. 131,88 136,66 141,92 0,50 142,63
4. 118,43 125,23 128,34 0,35 128,77
5. 121,50 134,33 135,44 0,30 135,94
















VI. PERHITUNGAN
Diketahui :
nA, MA, XA untuk CCl4
nB, MB, XB untuk Aquadest
nC, MC, XC untuk Asam Asetat

Percobaan 1
Untuk campuran A : C
MA = ( massa Erlenmeyer + zat A ) – ( massa Erlenmeyer kosong + tutup )
= 163,34 – 161,30
= 2,04 gram
MC = ( massa Erlenmeyer + zat A + zat C ) – ( massa Erlenmeyer + zat A )
= 172,62 – 163,34
= 9,28 gram
MB = ( massa setelah titrasi – ( massa Erlenmeyer + zat A + zat C )
= 174,55 – 172,62
= 1,93 gram

Dengan cara yang sama, diperoleh data sebagai berikut :
Erlenmeyer Perbandingan A : C Massa A ( gr ) Massa B ( gr ) Massa C ( gr )
1 1 : 9 2,04 1,93 9,28
2 3 : 7 4,72 0,57 7,41
3 5 : 5 7,74 0,21 5,10
4 7 : 3 10,78 0,15 2,99
5 9 : 1 13,94 0,02 0,82

Mol untuk masing – masing cairan dalam campuran Erlenmeyer
• Untuk Erlenmeyer 1 ( A : C = 1 : 9 )



Dengan cara yang sama diperoleh :
Erlenmeyer Perbandingan A : C nA (mol ) nB ( mol ) nC ( mol ) nA + nB + nC
1 1 : 9 0,013 0,107 0,155 0,275
2 3 : 7 0,031 0,032 0,124 0,187
3 5 : 5 0,050 0,012 0,090 0,152
4 7 : 3 0,070 0,008 0,050 0,128
5 9 :1 0,091 0,001 0,014 0,106

• Fraksi mol d Erlenmeyer ( pelarut A : C = 1 : 9 )
Erlenmeyer 1





Dengan cara yang sama diperoleh :

Erlenmeyer Perbandingan A : C XA ( % ) XB ( % ) XC ( %)
1 1 : 9 4,73 38,91 56,36
2 3 : 7 16,58 17,11 66,31
3 5 : 5 32,90 7,89 59,21
4 7 : 3 54,69 6,25 39,06
5 9 : 1 85,85 0,94 13,21

Percobaan 2
Diketahui :
nA, MA, XA untuk CCl4
nB, MB, XB untuk Aquadest
nC, MC, XC untuk Asam Asetat

Untuk campuran B : C

MB = ( massa Erlenmeyer + zat B ) - ( massa Erlenmeyer kosong + tutup)
= 162,32 – 161,53
= 0,79 gram

MC = ( massa Erlenmeyer + zat B + zat C ) – ( massa Erlenmeyer + zat B )
= 171,67 – 161,53
= 10,14 gram

MA = ( massa setelah titrasi) – ( massa Erlenmeyer + zat B + zat C )
= 175,97 – 171,67
= 4,3 gram

Dengan cara yang sama, diperoleh data sebagai berikut :

Erlenmeyer Perbandingan B : C Massa B ( gr ) Massa C ( gr ) Massa A ( gr )
1 1 : 9 0,79 9,35 4,3
2 3 : 7 2,8 7,26 1,4
3 5 : 5 4,78 5,26 0,71
4 7 : 3 6,8 3,11 0,43
5 9 : 1 12,83 1,11 0,5

Mol untuk masing – masing cairan dalam campuran Erlenmeyer
• Untuk Erlenmeyer 1 ( B : C = 1 : 9 )



Dengan cara yang sama diperoleh :

Erlenmeyer Perbandingan B : C nA (mol ) nB ( mol ) nC ( mol ) nA + nB + nC
1 1 : 9 0,028 0,044 0,156 0, 228
2 3 : 7 0,009 0,156 0,121 0,286
3 5 : 5 0,005 0,266 0,088 0,359
4 7 : 3 0,003 0,378 0,052 0,433
5 9 :1 0,003 0,713 0,019 0,735

• Fraksi mol d Erlenmeyer ( pelarut B : C = 1 : 9 )
Erlenmeyer 1





Dengan cara yang sama diperoleh :

Erlenmeyer Perbandingan B : C XA ( % ) XB ( % ) XC ( %)
1 1 : 9 12,28 19,30 68,42
2 3 : 7 3,15 54,55 42,30
3 5 : 5 1,39 74,09 24,52
4 7 : 3 0,69 87,30 12,01
5 9 : 1 0,41 97,01 2,58
















VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum Diagram Terner ini bertujuan untuk membuat kurva kelarutan suatu cairan yang terdapat dalam campuran dua cairan tertentu. Dimana dalam hal ini cairan yang dipergunakan sebagai cairan A adalah CCl4, cairan B adalah Aquades, dan cairan C adalah asam asetat.
Pada percobaan pertama, cairan A dan C dicampur dengan variasi perbandingan volume, yaitu: 1:9 ; 3:7 ; 5:5 ; 7:3 ; dan 9:1 ml. Setiap penambahan cairan, tiap Erlenmeyer beserta cairan yang ada didalamnya ditimbang agar diperoleh selisih massa ketika cairan ditambahkan. Dari percobaan, cairan A dan C mampu melarut dengan baik. Hasil tersebut diperoleh karena antara CCl4 dengan asam asetat dapat saling berikatan. Dimana, CCl4 dapat berikatan di sekitar gugus metil dari CH3COOH yang bersifat non-polar pada gugus CH3-nya.
Ketika titrasi dengan aquades dilakukan, terjadi pemisahan diantara campuran CCl4 dengan asam asetat, hal ini dikarenakan asam asetat membentuk ikatan hydrogen yang lebih kuat dengan molekul air pada bagian –OH dari gugus –COOH asam asetatnya. Oleh karena itu, asam asetat yang awalnya berikatan dengan CCl4 akan terpisahkan dan berikatan dengan air. Hal ini disebabkan karena sifat CCl4 yang tidak melarut dengan air sehingga CCl4 yang mulanya berikatan dengan CH3COOH akan terlepas dan terpisah membentuk 2 larutan terner terkonjugasi yang ditandai dengan terbentuknya larutan yang keruh. Karena kemampuannya yang dapat melarut dengan air dan juga CCL4, maka Asam Asetat Glasial (CH3COOH) dikenal sebagai pelarut yang bersifat semi-polar.
Ketika campuran asam asetat dan CCl4 dititrasi dengan aquades, volume titran I= 2,55 ml ; volume titran II= 1,10 ml ; volume titran III= 0,60 ml ; volume titran IV= 0,50 ml ; dan volume titran V= 2,40 ml ditemukan keadaan campuran dalam keadaan keruh.
Dari hasil perhitungan berdasarkan data-data yang telah diperoleh, maka XA pada perbandingan campuran 1:9= 6,45 %. Untuk perbandingan campuran 3:7 = 13,64%. Untuk perbandingan 5:5 = 32,05%. Untuk perbandingan 7:3 = 50,34%. Dan untuk perbandingan 9:1 = 37,66%. Hal ini menunjukkan semakin besar komponen A di dalam campuran, XA-nya makin naik. Kecuali pada perbandingan 7:3 didapatkan hasil fraksi A cukup tinggi kenaikannya.
Untuk XB pada campuran dengan perbandingan 1:9 diperoleh 41,90%, untuk perbandingan 3:7 diperoleh hasil 27,30%, untuk campuran A-C 5:5 diperoleh fraksi B sebesar 14,10%. Pada campuran A-C dengan perbandingan 7:3 didapatkan XB = 12,75%, dan untuk perbandingan campuran A-C 9:1 didapatkan XB = 54,39%
Sedangkan untuk XC pada perbandingan campuran 1:9 sebesar 51,65%, untuk perbandingan 3:7 didapatkan 59,06%, untuk perbandingan 5:5 diperoleh hasil 53,85%, untuk perbandingan 7:3 diperoleh hasil 36,91%, dan untuk perbandingan campuran 9:1 didapatkan hasil 7,95%.
Percobaan kedua dilakukan dengan menyampurkan cairan B (aquades) dan cairan C (asam asetat glacial) dengan variasi campuran 1:9 ; 3:7 ; 5:5 ; 7:3 ; dan 9:1. Dari percobaan yang telah dilakukan dan dari hasil perhitungan yang didapatkan, XA¬ (fraksi mol CCl4) untuk perbandingan campuran 1: 9 adalah 8,06%, untuk perbandingan campuran 3:7 diperoleh sebesar 2,81%, untuk perbandingan 5:5 didapatkan hasil XAnya 0,89%, untuk prbandingan campuran 7:3 hasilnya 0,97%, dan untuk campuran dengan perbandingan 9:1 diperoleh hasil 0,42%.
Dari hasil perhitungan yang didapatkan, XB¬ (fraksi mol Aquades) untuk perbandingan campuran 1: 9 adalah 41,29%, untuk perbandingan campuran 3:7 diperoleh sebesar 59,60%, untuk perbandingan 5:5 didapatkan hasil XAnya 79,71%, untuk perbandingan campuran 7:3 hasilnya 88,95%, dan untuk campuran dengan perbandingan 9:1 diperoleh hasil 96,48%.
Sedangkan dari hasil perhitungan, XC¬ (fraksi mol CCl4) untuk perbandingan campuran 1: 9 adalah 50,65%, untuk perbandingan campuran 3:7 diperoleh sebesar 37,59%, untuk perbandingan 5:5 didapatkan hasil XAnya 19,40%, untuk perbandingan campuran 7:3 hasilnya adalah 3,10%.
Dari hasil kedua percobaan tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi cairan C (Asam Asetat) ternyata justru sebanding dengan naik-turunnya konsentrasi cairan yang dipakai sebagai titran pada titrasi campuran. Pada percobaan pertama, besarnya fraksi mol asam asetat sebanding dengan penurunan fraksi mol aquades. Sedangkan pada percobaan kedua, fraksi mol asam asetat sebanding dengan penurunan fraksi mol dari CCl4 (titran). Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh keunikan asam asetat yang memiliki sifat semi-polar, dimana dapat melarutkan CCl4 dengan baik, begitu juga halnya dalam melarut dengan air (aquades). Untuk cairan-cairan yang saling melarutkan, konsentrasinya akan saling berkebalikan karena larutan tersebut akan membentuk daerah berfase tunggal. Sedangkan cairan yang tidak melarut (larut sebagian) akan membentuk daerah berfase 2. Untuk membuktikannya lebih lanjut, maka akan digambarkan diagram terner-nya agar tampak lebih jelas titik kritisnya ketika titrasi dilarutkan sehingga terlihat batas kelarutan dari masing-masing komponen campuran tersebut.
Ketika cairan yang melarut berubah menjadi tidak larut (kurang melarut), maka akan membentuk dua fase (daerah yang berarsir), sedangkan komponen-komponen yang saling melarut akan berada pada luar daerah yang berarsir.


VIII. KESIMPULAN
XI. DAFTAR PUSTAKA
http://devry.wordpress.com/2008/08/26/diagram-fasa-logam/
http://staff.ui.ac.id/internal/131611668/material/PanduanKimiaFisika.pdf
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia_dasar/cairan_dan_larutan/kesetimbangan fasa-dan-diagram-fasa/